Perginya Sang Perawat Tradisi Perempuan Bali






OBITUARI

SELAMAT JALAN, NIRONDJI


KATA orang bijak, hidup kita ini sangat singkat. Kita semua akan melaluinya. Nun, di sebuah subuh yang teduh di Ubud, Minggu, pukul 04.50 Wita, Ni Rondji berpulang ke desa wayah (meninggal) dengan tenang. Kepergiannya begitu tib-tiba, tak ada gejala, tak ada tanda-tanda. Hanya sebuah peristiwa kecil, terjatuh dari kursi, lalu dari sana segalanya berakhir. Seluruh keluarga besar Blanco menunduk, murung dan berurai airmata. Alam Ubud yang mendung, gerimis dan kadang hujan deras pada hari itu seperti melengkapi kesedihan itu.

Keedihan itu juga terasakan oleh para kerabat dan para sahabat. Kediaman keluarga Blanco di bilangan Campuhan, Ubud, seperti tiada henti dikunjungi kerabat dekat dan jauh, juga para sahabat yang turut menyatakan bela sungkawa mereka. Di jejaring internet Facebook Mario Blanco, ribuan orang turut menyatakan bela sungkawa mereka, dan hingga hari ini masih mengalir ucapan-ucapan yang bernada duka itu. Inilah sebuah tanda betapa kepergian Ni Rondji sungguh memiliki arti bagi banyak orang.

Mengapa berpulangnya Ni Rondji menyentak hati banyak orang? Mengapa jejak langkahnya sepanjang hidupnya di hari-hari kemarin

memikat perhatian sejumlah kalangan? Pertanyaan ini tak bisa dilepaskan dari keberadaan sosok yang bagi Ni Ronji adalah pujaan, kekasih, sahabat, suami; ialah mendiang sang maestro Don Antonio Blanco! Ya, nama yang disebut terakhir inilah

menuntaskan dua pertanyaan di atas; kebersamaan Ni Rondji dan Antonio Blanco dalam

suka dan duka. Ni Rondji adalah pesaksi paling dekat atas jejak sejarah seorang maestro Don Antonio Blanco.

Ni Rondji adalah orang desa yang lahir di desa Penestanan, Ubud. Ia gemar menari sejak remaja. Kemudian memantapkan kegemarannya menari dengan belajar menari dari empu tari I Maria dari Tabanan setelah ia menikah dengan Antonio Blanco (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Blanco saja) pada tahun 1953. Sebagai rasa trimakasih dan kagum kepada I Maria, Blanco dan Ni Rondji bersepakat untuk menamai anak lelaki mereka dengan nama yang sama “Maria”, kemudian karena pergeseran ucapan Blanco, nama Maria lalu berubah menjadi “Mario”.


Sejak pernikahan Ni Rondji dan Blanco, mereka mulai mengarungi masa-masa kebersamaan yang penuh romansa; hidup sahaja, latar balakang desa yang rimbun oleh pohon-pojon besar, jauh dari kota seperti Denpasar, dan yang lebih utama dari itu ialah Ni Rondji—sepanjang kebersamaannya dengan orang terkasih—harus menjadi perempuan yang “serbabisa”; menari, menjadi model lukisan, menemani kekasih menemui para sahabatnya yang pada waktu itu adalah orang-orang penting seperti Presiden RI I, Ir. Soekarno dan sejumlah bintang film dari Hollywood. Di atas semua itu, perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga juga tak ia tinggalkan. Ia juga menjadi “perantara” perhubungan antara orang-orang di Ubud dengan suaminya. Semua itu dimainkan Ni Rondji dengan hampir sempurna.

Meski hanya seorang perempuan desa, namun Ni Rondji adalah orang yang cepat belajar. Ini tentu tak lepas dari peran Blanco yang mengarahkan dan menuntunnya untuk menerima kenyataan kehidupan baru mereka. Menjadi model dan penari, menjadi pendamping suami yang seniman murni, menjadi ibu rumah tangga yang gesit dan tabah; adalah kenyataan-kenyataan yang menantang dan menggairahkan bagi Ni Rondji. Bersama Blanco, ia menerima kenyataan itu sebagai romance yang manis dan penuh dengan cinta.

Di tengah perjalanan rumah tangga mereka yang penuh cinta, Ni Rondji mendapatkan satu kenyataan yang selalu ia sadari, bahwa menjadi seorang istri seniman sejati sungguh-sungguh membutuhkan cinta, ketabahan, keberanian, berani selalu memandang ke depan, selalu tabah karena kenyataan betapa banyaknya kesulitan yang mereka hadapi. Sebagai seniman jelaslah sandaran hidup adalah lukisan, namun betapa miris ketika mengetahui bahwa suaminya lebih memilih hidup prihatin dan sahaja daripada menjual lukisan. “Uang cepat habis tapi lukisan tidak!” ungkap Blanco manakala suatu hari Ni Rondji berharap kekasihnya bersedia menjual lukisannya.

Itulah yang akhirnya diterima Ni Rondji, namun kemudian ia tersentak betapa benarnya ungkapan suaminya. Lagipula ia sejak kecil telah terlatih menjalani kehidupan dengan sederhana dan prihatin sebagai perempuan desa Ubud. Maka, dengan kebersamaan yang hangat dan penuh dengan kasih dan cinta, Ni Rondji mendampingi suaminya Blanco dalam menapaki hari-hari yang penuh dengan romansa. Kesulitan-kesulitan hidup tak lagi terlalu mengganggunya selama kebersamaan mereka dinaungi oleh cinta yang tulus dan kesetiaan yang telah teruji.

Sebagai penari, Ni Rondji tak menghilangkan kemahirannya menari. Orang-orang penting yang datang ke rumahnya yang rimbun, teduh dan sederhana itu selalu ia sajikan tarian dan mengekspresikannya di depan mereka. Ia berkali-kali menari di hadapan Presiden Soekarno dan sejumlah orang penting dalam dan luar negeri. Kemahirannya menari ini juga ia ekspresikan ketika bersama Blanco melawat ke Amerika pada tahun 1957. Selama 2 tahun berkeliling Amerika dan mengunjungi tempat-tempat dan tokoh penting negeri Paman Sam itu, tugas dan peran Ni Rondji adalah menarikan sejumlah tarian Bali yang dikuasainya. Dan sepanjang itu pula ia selalu berbusana tradisional Bali. Bahkan beberapa kali ia harus menari di musim dingin dengan pakaian tari yang terbuka bahu dan di atas dada. Rasa dingin yang menyengat dihalaunya oleh semangat yang tinggi untuk memperkenalkan identitas dan budaya Bali.

Selain di Amerika, Ni Rondji harus terus mendampingi Blanco menemui orang-orang penting di Amerika, dan turut menjadi narasumber bagi kebudayaan Bali, selain menari tentunya. Mereka berdua tak kenal letih mempromosikan Bali kepada orang-orang yang mereka kenal di Amerika, mencitrakan kebudayaan Bali sebagai kebudayaan yang sangat luhur dan humanis, mengundang mereka untuk datang ke Bali suatu hari nanti. Dan ikhtiar mereka mempromosikan Bali akhirnya berbuah hasil, karena setelah mereka kembali ke Ubud, tak sedikit orang-orang Amerika mengunjungi rumah mereka di Campuhan, Ubud.

Pelawatan Blanco ke Amerika sepenuhnya untuk promosi tentang Bali. Ini tak bisa dilepaskan dari amanat yang dititahkan Raja Ubud, suatu hari di tahun 1952 saat pertama kali Blanco menginjak Ubud. Raja Ubud, Tjokorda Agung Saren Sukawati, menitahkan agar Blanco mendiami sebuah kawasan di daerah Campuhan dengan catatan, Blanco harus mempromosikan Bali kepada para sahabatnya dan orang-orang di mana pun, terutama dari luar negeri. Blanco menyanggupi dengan sepenuh hati, dan beberapa tahun setelah pernikahannya dengan Ni Rondji, mereka berdua berangkat ke Amerika.

DALAM perkawinan Ni Rondji dan Blanco, mereka dikarunia 4 putra-putri; Cempaka Blanco, Mario Blanco, Orchid Blanco dan Mahadevi Blanco. Satu-satunya laki-laki dari empat bersaudara itu adalah Mario Blanco, dan satu-satunya pula yang mengikuti jejak Blanco sebagai pelukis. Sepeninggal Blanco pada tahun 1999, Ni Rondji harus merawat, menjaga dan mengasuh keempat anaknya. Meski begitu berat ditinggalkan oleh orang yang paling dicintainya, namun Ni Rondji melanjutkan kehidupan dan meneruskan apa yang ditinggalkan oleh mendiang suaminya, yakni merawat anak-anak dengan penuh kasih dan merawat dengan penuh kasih pula peninggalan suaminya berupa sebuah museum bernama The Blanco Renaissance Museum yang memajang ratusan karya-karya suaminya.

Ditemani Mario Blanco, Ni Rondji dengan hati-hati dan penuh perhatian meneruskan apa yang telah diwujudkan dan diwariskan Blanco; yakni menjadikan Museum Blanco sebagai salah satu aset bangsa yang harus diselamatkan dan disebarluaskan keberadaan dan kiprah Blanco dan warisan yang ditinggalkannya. Dan pesaksi paling dekat dari sejarah panjang Sang Maestro adalah Ni Rondji dan putra-purtrinya, dan oleh karena itu mereka terus berikhtiar dan berjuang agar warisan Blanco bisa bermanafaat dan berarti bagi generasi penerus bangsa, terutama kalangan generasi mudanya. “Kami ingin warisan Sang Maestro (Don

Antonio Blanco) dapat menjadi teladan bagi pembangunan kebudayaan di negeri kita, terutama bagi generasi mudanya,” ungkap Mario Blanco.

Kini salah satu pesaksi penting sejarah

perjalanan Sang Maestro Don Antonio Blanco, yakni Ni Rondji, telah berpulang dan menyusul sang kekasih hati “di sana”. Banyak sungguh orang-orang merasa kehilangan seorang perempuan Bali yang tangguh dan setia dan penuh welas asih terhadap sesama.

Selamat jalan, Ni Rondji, selamat jalan ..
























4 komentar:

amethys mengatakan...

Selamat jalan ibu Ni Ronji
Semoga putra putri ibu Akan meneruskan cita2 ibu

amethys mengatakan...

Selamat jalan ibu Ni Ronji
Semoga putra putri ibu Akan meneruskan cita2 ibu

amethys mengatakan...

Selamat jalan ibu Ni Ronji
Semoga putra putri ibu Akan meneruskan cita2 ibu

vonzz mengatakan...

suksma for sharing ya... Ni Rondji Blanco adalah sosok wanita mulia yang berhasil membesarkan putra putrinya menjadi manusia sempurna...

termasuk masa2 mendampingi Don Antonio Blanco dengan cinta yang tulus dan kesetiaannya yang luar biasa...

Ni Rondji Blanco yang saya kenal adalah sosok wanita yang ramah dan murah senyum... selalu penuh perhatian dan penuh cinta...

Love U, mami Ni Rondji Blanco...