RONDJI RESTAURANT




Rondji Restaurant adalah satu rangkaian dengan keseluruhan The Blanco Renaissance Museum. Karena itu, akan terasa lengkap saat menikmati karya-karya besar sang maestro, Don Antonio Blanco juga mencoba menikmati hidangan dengan selera masakan dari berbagai negara penting di dunia dan Bali tentunya 
 Kini kenyamanan pengunjung akan lebih ditingkatkan lagi dengan dibukanya Rondji Restaurant. Dibangunnya restoran ini masih terkait dengan kelengkapan keberadaan The Blanco Renaissance Museum. Para pengunjung dapat memilih antara datang ke restoran dulu baru melihat lukisan karya sang maestro Don Antonio Blanco atau melihat ke dalam museum dulu baru ke restoran. Masih berada di areal museum, dengan menjolok ke tebing sungai Campuan dan berhadapan depan -->bukit cinta dengan desain dan interior yang go green, sederhana namun tetap memperhatikan perpaduan kepentingan aspek artistik interior dan aspek turistik. Bila kita duduk di restoran ini, maka pandangan lepas yang serba hijau dan indah akan terhampar menyejukkan pandangan di kejauhan.
stunning view
 view
  Dengan begitu, nama Rondji Restaurant adalah satu bentuk penghormatan dari keluarga Blanco untuk mengenang dan menghormati Ni Rondji karena dalam keluarga Blanco, Ni Rondji dikenal sebagai seorang istri/ibu yang pandai memasak dan hasil masakannya sangat lezat dan disukai oleh seluruh keluarga. Dan yang paling menggemari masakan Ni Rondji justru sang maestro sendiri yang susah berganti ke masakan lain. “Jadi semua yang melengkapi keberadaan museum selalu memiliki kaitan langsung dengan sang maestro,” ujar Mario Blanco. Rondji Restaurant, menurut Mario Blanco, adalah simbol dari selera masakan sang maestro dan sekaligus juga symbol dari Ni Rondji yang dikenal pandai memasak dan hasil masakannya sangat lezat.

Teras



Diner
RONDJI Restaurant dibangun bukan saja untuk pengunjung The Blanco Museum, melainkan juga untuk khalayak yang ingin menikmati suasana restoran yang asri dan meneduhkan. Sejak soft opening bulan September 2012 lalu, Rondji Restaurant banyak dikunjungi wisatawan mancanegara dan masyarakat dari berbagai lapisan sosial, terutama rombongan organisasi/instansi yang kebetulan berlibur ke Bali. “Mereka sangat suka dengan masakan kami,” ujar General Manager Rondji Restaurant Edi Sidarta. Menurutnya, komentar para pengunjung restoran yang menikmati hidangan yang disajikan restoran itu bukan basa-basi karena ada beberapa wisatawan mancanegara yang datang beberapa kali. “Kami berusaha mendatangkan juru masak yang andal dan bertaraf internasional,” tambah Mario Blanco.

Edi Sidarta mengungkapkan, meski Rondji Restaurant terbilang restoran berkelas tinggi, namun pihaknya berusaha menekan harga agar para pengunjung museum/restoran tidak terlalu berat dengan harga-harga menu yang disajikan. “Setidaknya kelas menengah bisa menikmati hidangan kami,” ujar Edi Sidarta. Kenyataannya, memang banyak para pengunjung museum sehabis berkeliling-keliling museum akhirnya melepas penat di Rondji Restaurant dan tanpa canggung memesan berdasarkan menu yang ada di daftar menu. Berdasarkan catatan pengelola restoran, tak sedikit orang-orang penting di Bali yang sempat mampir ke restoran ini. 
Diner

 


Hal lain yang juga selalu dijaga bagipengelola restoran ini adalah menjaga kreativitas menu dan penyajian hidangan sehingga selain tampilan hidangan kelihatan indah, juga bisa mengundang selera bagi pengunjung restoran.
 Memang, Rondji Restaurant selalu tampil elegan dan berkelas semi-fine dinning restaurant dengan 150 tempat duduk dan  20 seat longue.  Masakan yang tersaji di restoran ini mengacu pada selera European dengan dipengaruhi selera Prancis dan Italia; serta juga menghadirkan selera Asia dengan pengutamaan pada rasa dan aroma masakan Bali. Penyajian menu masakan dari berbagai negara yang berbeda ini dilakukan untuk pengayaan pilihan selera pengunjung restoran.  “Tentu dengan juru masak yang terlatih dan memiliki pengalaman,” tandas Edi Sidarta yakin. Rujukan selera masakan dari  luar negeri  yang tersaji di Rondji Restaurant tentu saja tak bisa dilepaskan dari lingkungan Ubud di mana banyak sekali wisatawan mancanegara yang berkunjung ke sini. “Karena itu kami tak bisa meniadakan selera mereka,” tambah Mario Blanco.
 
Seperti diketahui, turis-turis asing setiap hari mengunjungi The Blanco Renaissance Museum dan tak sedikit di antara mereka menyempatkan diri untuk mampir ke Rondji Restaurant yang berada di komplek museum. Bukan tak mungkin mereka mencoba menu-menu utama yang disajikan restoran itu. “Semua menu yang kami sajikan terinspirasi dari berbagai negara dan kami hidangkan kembali dnegan sentuhan kami sendiri,” kata Edi Sidarta. Karena itu, para pengunjung yang datang ke restoran ini bisa mencoba misalnya hidangan dari Asia, Eropa dan tentu saja hidangan Bali dengan beberapa kekhasannya. Agar tidak menjemukan, tiap 3-4 bulan sekali hidangan itu dikreasi untuk menjaga selera, penampilan dan cita rasa dari masakan andalan restoran ini. “Harga sangat kompetitif dan kami jamin itu terjangkau bagi pengunjung restoran maupun museum,” ujar Edi Sidarta.








Rondji Restaurant kini berdiri menjadi ‘pendamping’ bagi The Blanco Museum yang megah itu. Ada dua hal yang didapat pengunjung bila mengunjungi The Blanco Museum, yakni menikmati karya-karya besar sang maestro Don Antonio Blanco di mana sedikitnya 300 karya terkoleksi di dalamnya, dan menikmati hidangan lezat dengan berbagai selera yang tersaji di Rondji Restaurant. Belum lagi kelengkapan museum yang lain seperti 

galeri, bercanda-ria dengan burung-burung langka, gift shop yang menawarkan berbagai aksesori yang cantik dan keramahan dari semua staf The Blanco Museum. Jadi, sedikit kurang lengkap jika anda ke museum dan menyaksikan karya-karya besar sang maestro Don Antonio Blanco tanpa menyinggahi Rondji Restauran, karena Rondji Restaurant dan museum secara simbolik adalah ‘pasangan suami istri’ Don Antonio Blanco-Ni Rondji.








TENGANAN PEGRINGSINGAN





Tenganan Pegringsingan

adalah sebuah desa tradisional di pulau Bali. Desa ini terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem di sebelah timur pulau Bali. Tenganan bisa dicapai dari tempat pariwisata Candi Dasa dan letak kira-kira 10 kilometer dari sana.


Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari tiga desa Bali

Aga, selain Trunyan dan Sembiran. Yang dimaksud dengan Bali Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka. Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan.





Sejarah


Menurut sebagian versi catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata "tengah" atau "ngatengahang" yang memiliki arti "bergerak ke daerah yang lebih dalam". Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).


Sejarah lain mengatakan bahwa masyarakat Tenganan berasal dari Desa Peneges, Gianyar, yang dulu disebut sebagai Bedahulu. Menurut cerita rakyat, Raja Bedahulu pernah kehilangan salah satu kudanya dan orang-orang mencarinya ke Timur. Kuda tersebut ternyata ditemukan tewas oleh Ki Patih Tunjung Biru, orang kepercayaan sang raja. Atas loyalitasnya, Ki Patih tunjung Biru mendapatkan wewenang untuk mengatur daerah yang memiliki aroma dari bangkai (carrion) kuda tersebut. Ki Patih mendapatkan daerah yang cukup luas karena dia memotong bangkai kuda tersebut dan menyebarkannya sejauh yang dia bisa lakukan. Itulah asal mula dari daerah Desa Tenganan.





Mata Pencaharian


Umumnya, penduduk desa Tenganan bekerja sebagai petani padi, namun ada pula yang membuat aneka kerajinan. Beberapa kerajinan khas dari Tenganan adalah anyaman bambu, ukiran, dan lukisan di atas daun lontar yang telah dibakar. Di desa ini pengunjung bisa menyaksikan bangunan-bangunan desa dan pengrajin-pengrajin muda yang menggambar lontar-lontar. Sejak dulu, masyarakat Desa Tenganan juga telah dikenal atas keahliannya dalam menenun kain gringsing. Cara pengerjaan kain gringsing ini disebut dengan teknik dobel ikat. Teknik tersebut merupakan satu-satunya di Indonesia dan kain gringsing yang dihasilkan terkenal istimewa hingga ke mancanegara. Penduduk Tenganan masih menggunakan sistem barter dalam kehidupan sehari-harinya.





Adat Istiadat






Keseharian kehidupan di desa ini masih diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum tersebut ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui pada tahun 1842. Rumah adat Tenganan dibangun dari campuran batu merah, batu sungai, dan tanah. Sementara atapnya terbuat dari tumpukan daun rumbi. Rumah adat yang ada memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama, dengan ciri khas berupa pintu masuk yang lebarnya hanya berukuran satu orang dewasa. Ciri lain adalah bagian atas pintu terlihat menyatu dengan atap rumah.









Add caption


Penduduk desa ini memiliki tradisi unik dalam merekrut calon pemimpin desa, salah satunya melalui prosesi adat mesabar-sabatan biu (perang buah pisang). Calon prajuru desa dididik menurut adat setempat sejak kecil atau secara bertahap dan tradisi adat tersebut merupakan semacam tes psikologis bagi calon pemimpin desa. Pada tanggal yang telah ditentukan menurut sistem penanggalan setempat (sekitar Juli) akan digelar ngusaba sambah dengan tradisi unik berupa mageret pandan (perang pandan). Dalam acara tersebut, dua pasang pemuda desa akan bertarung di atas panggung dengan saling sayat menggunakan duri-duri pandan. Walaupun akan menimbulkan luka, mereka memiliki obat antiseptik dari bahan umbi-umbian yang akan diolesi pada semua luka hingga mengering dan sembuh dalam beberapa hari. Tradisi tersebut untuk melanjutkan latihan perang rutin dan menciptakan warga dengan kondisi fisik serta mental yang kuat. Penduduk Tenganan telah dikenal sebagai penganut Hindu aliran Dewa Indra, yang dipercaya sebagai dewa perang.


Masyarakat Tenganan mengajarkan dan memegang teguh konsep Tri Hita Karana (konsep dalam ajaran Hindu) dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tri berarti tiga dan Hita Karana berarti penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri Hita Karana terdiri dari Perahyangan (hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya), dan Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya).

BUKIT SARI SANGEH

 OBYEK WISATA BUKIT SARI SANGEH



Wisata alam Sangeh adalah salah satu obyek wisata di Bali yang menawarkan keindahan alam hutan pala dengan ratusan monyet liar yang jinak. Di musim libur akhir pekan, wisata alam yang terletak 25 kilometer utara Denpasar ini, banyak dikunjungi wisatawan terutama wisatawan lokal.




Obyek wisata Sangeh menawarkan keindahan alam dengan keaslian ekosistemnya. Di obyek wisata dengan hamparan homogen hutan pala seluas sepuluh hektar ini, wisatawan akan dimanjakan dengan kesegaran udara dan habitat asli monyet Sangeh.



Selain pohon pala, masih ada tanaman yang terkenal di hutan Sangeh. Masyarakat setempat biasa menyebutnya pohon lanang wadon, karena bagian bawah pohon itu berlubang sehingga menyerupai alat kelamin perempuan, sedangkan di tengah lubang tersebut tumbuh batang yang mengarah ke bawah dan terlihat seperti alat kelamin pria.





Meski monyet yang di keramatkan warga ini, hidup liar di dalam hutan, namun mereka tetap jinak. Sehingga para wisatawan bisa bercengkerama dengan bebas dan berfoto bersama binatang primata ini.

Selain monyet, sebagai penghuni asli hutan, wisatawan juga bisa menyaksikan keagungan sejarah Bali, dari keberadaan situs pura bukit sari. Pura ini didirikan sejak abad ke 17 oleh anak angkat Raja Mengwi, Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, ketika sedang bertapa.

Di musim liburan, obyek wisata yang terletak sekitar 25 kilometer arah utara Denpasar ini, sangat diminati wisatawan lokal dari Bali maupun dari luar Bali.





Selain bisa menikmati keindahan alam, beberapa wisatawan mengaku mendapatkan pelajaran sejarah Bali dengan adanya beberapa situs pura peninggalan raja jaman dahulu.

Dengan tiket masuk hanya lima ribu rupiah, tidak salah jika obyek ini sangat diminati. Jika pada hari-hari normal pengunjung rata–rata mencapai 500 orang, namun jika hari libur panjang, pengunjung meningkat menjadi 1.000 hingga 2.000 orang perhari. Waaw!!

SENI & BUDAYA



Tari Rejang adalah sebuah tarian putri yang dilakukan secara masal, gerak-gerik tarinya sangat sederhana (polos) yang biasanya ditarikan di Pura Pura pada waktu berlangsungnya suatu upacara. Tarian ini dilakukan dengan penuh rasa hidrat, penuh rasa pengabdian kepada Bhatara Bhatari. Para penarinya mengenakan pakaian upacara, menari dengan berbaris melingkari halaman Pura atau Pelinggih yang kadang kala dilakukan dengan berpegangan tangan. Tari Rejang di beberapa tempat juga disebut dengan Ngeremas atau Sutri.

Jenis-jenis tari Rejang antara lain : Rejang Renteng, Rejang Bengkel, Rejang Ayodpadi, Rejang Galuh, Rejang Dewa dan lain-lainnya. Di desa Tenganan terdapat tari-tari Rejang Palak, Rejang Membingin yang kemudian dilanjutkan dengan Rejang Makitut dan Rejang Dewa. Tari Rejang di Tenganan diiringi dengan gambelan Selonding yang biasanya dilakukan dalam suatu upacara yang disebut Aci Kasa. 



Tari baris berasal dari kata Babarisan yang dapat diartikan pasukan. Disamping merupuakan tari kepahlawanan tari baris juga merupakan tarian upacara yang ditarikan oleh sejumlah penari laki laki, antara 4 ( empat ) sampai 40 ( empat puluh ) penari bahkan lebih.

Beberapa jenis baris yang ada di Bali antara lain:

Baris Ketekok jago : Baris yang membawa senjata tombak poleng ( tombak yang tangkainya berwarna hitam dan putih ) biasa dipertunjukkan untuk upacara Manusa Yadnya ( Ngaben ) dan diiringi dengan gambelan gong. Baris ini banyak dijumpai di Daerah Badung dan Singaraja disebut Baris Badung.

Baris Tombak : Baris yang mempergunakan senjata tombak, ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya dan diiringi dengan Gong. Baris ini banyak dijumpai di Daerah Badung, Bangli dan Gianyar.

Baris Poleng : Semacam Baris Ketekok jago. Baris Dadap Baris yang membawa senjata dadap ( semacam prisai ) yang biasa dipentaskan untuk upacara Dewa Yadnya. Di Tabanan ini berfungsi sebagai sarana upacara Pitra Yadnya. Baris Dadap banyak dijumpai didaerah Bangli, Singaraja Gianyar dan Tabanan.

Baris Presi : Baris yang senjatanya dinamakan Presi, berfungsi sebagai upacara Dewa Yadnya. Baris Pendet Baris yang merupakan sarana upacara tombak yang panjang, terdapat di daerah Bangli, Gianyar dan Nusa Penida ( Klungkung ).

Baris Gayung : Baris yang didalamnya tariannya membawa gayung atau cantil ( alat untuk membawa Air Suci ).

Baris Demang : Baris yang perannya mendapat pengaruh gambuh, mempergunakan senjata pedang dan lain-lainya. Baris ini terdapat di daerah Singaraja.

Baris Cerekuak : menggambarkan gerak gerik burung Cerekuak dengan busana yang sangat sederhana ( Babuletan ), hiasan kepalanya dibuat dari daun-daunan seperti tarian Dayak di Kalimantan.



KUNTI SRAYA

Classic
Balinese Barong D
ance

Performance

Kunti Sraya

At The Village Of The GODs ‘’ Kedewatan’’

by Sanggar NITI SWARGI


first act represents the two servants of dewi Kunti who are so sad knowing the fact that their beloved mester (Sahadewa) will be sacrified to the Rangde. A hair rising howling sound is herd, thenfllowed by the appearance of a

frightening witch. Shortly after the witch disappers, they ask the patih (minister) to come.

scoud act tells how Dewi Kunti, as a loving mom, against her will to secfice her beloved son. However the witch appers and bewitches her. Soon after she orders the minister to take sahadewa to the fores and tie

s him on a tree in front of the abode of the rangda.

third scene expresses the sadness of the minister who also loves sahadewa. likewise Dewi Kunti, He is also under spelled by the witches who suddenly appear. immadeately patih takes sahadewa to the forest and ties him on a tree in front of the abode of the rangda.

fourth scene show the god of ciwa, who has pity on sahadewa and gives sahadewa immortality. Rangda comes out on the following scene. Being carried on the shoulders of her followers, she is ready and eager to kill sahadewa. in fact, this comes to failure because of the immortality given by god of Ciwa. Admitting that she cannot kill sahadewa, she asks him for redemption so her soul can go to heaven. sahadewa agreed and redeem her. Her soul goes to the heaven.

On the six acts, performs kalika, a disciple of Rangda. she also wents to be redeemed, however sahadewa refuses and thereensues a fight between sahadewa and kalika. using her magic power, meditates and transforms herself into aboar. This boar is defeated. Out she comes again into Crow (Garuda/Jabali). she fights and loses again and finally she transforms herself into the powerful of rangda, as Rangda is too powerful for sahadewa. Sahadewa finally meditates and becomes a Barong, but thefight is undecided and the barong leaves the stage to call his followers.

On the final acts, comes with their kris to attack the rangda, hevil

however cannot yet be destroyed. By the spell of Rangda, the kris on the hand of those followers trun against to them, but the magic of the Barong hardened their flesh so that although they push the sharp points of the kris, they are not even hurt.

This can only be performed on a complete trance dance with impunity otherwise a man will wound himself or hurt others. Possessed as they are,they have a super natural power or strength and it takes many men to hold them down to disarm. To take the men out of trance , they are led, one by one, to where the barong stand and the Pemangku (the templepriest) puts sacrificial offerings on the ground. After finished to recite ‘’ mantras’’ the magic formulas, they then sprinkles holy water to the face of each man and gradually the hysterical men come out of trance, daze,
simplywalking away as if they did not know what han happened to them. The temple priest to sacrifice a black color baby chicken and the blood should be spilled on the ground as a blood sacrifices to please the spirits.

Mario Blanco Man of The Year 2010


Putra daerah Bali Mario Blanco kedua kalinya terpilih sebagai Man of the Year 2010. Ia menyisihkan 490 calon dari tokoh di bidangnya masing-masing. Terpilihnya Mario Blanco kedua kali ini kian membuktikan bahwa putra Bali sangat pantas menjadi panutan dalam hal karya, perilaku, budi pekerti, visi kemasyarakatan dan perannya dalam memajukan lingkungan masyarakat.''Penganugrahan penghargaan (Man of the Year 2010) ini bagi saya sangat menggembirakan,''komentar Mario Blanco. Namun seniman ini juga mengatakan, justru karena itu tanggung jawabnya sebagai penerima penghargaan itu makin berat. ''Pengharagaan itu justru memicu saya berbuat lebih banyak, menjadi spirit ke depan baik bagi masyarakat maupun lingkungan,'' paparnya.Mario Blanco dikenal sebagai seniman dan budayawan muda. Selain mengelola The Blanco Renaissance Museum di Ubud, ia juga sering menjadi pembicara dalam berbagai seminar, pertemuan, workshop, dan mengembangbiakkan burung jalak Bali. Ia juga concern dengan perkembangan kesenian Bali dan Indonesia, dan sering menyediakan museum yang dikelolanya sebagai ajang aktivitas kesenian. Seperti di akhir November lalu, ia menjadi tuan rumah bagi penyelenggaran pertukaran seniman Indonesia-Amerika ''The Exhibition St. Louis Artists Abroad 2010''.Penghargaan Man of the Year di Indonesia diadakan setiap tahun oleh International Human Resources Development Program (IHRDP). Sejumlah kriteria harus dipenuhi dari tokoh-tokoh yang dipilih. Di antaranya berprestasi dan berdampak nasional, memiliki etos kerja tinggi, mampu meningkatkan harkat dan martabat bangsa, mampu meningkatkan kualitas masyarakat lingkungannya, memiliki visi misi ke depan yang inovatif, berbakti kepada Tuhan Yang Mahaesa. Pihak IHRDP memilih 10 pria dan 10 wanita Indonesia untuk dinobatkan sebagai Man/Woman of the Year berdasarkan kriteria tersebut.Sebagai seniman, sejak lama Mario Blanco selalu ingin memajukan dunia kesenian Indonesia dan Bali. Ia telah melakukan banyak hal di bidangnya, namun terpenting sekarang bagaimana memajukan generasi muda dalam bidang seni budaya. ''Impian dan cita-cita saya menjadikan generasi muda sangat minded dengan seni dan budaya, dan saya kira itu belum terlambat melibatkan generasi muda dalam aktivitas seni budaya,''papar Mario sembari menjelaskan obsesinya sebagai seniman dan tanggung jawab dirinya sebagai seniman dan budayawan.Mario Blanco secara khusus juga mengatakan, penghargaan Man of the Year 2010 yang diterimanya ini secara moral dan kultural ingin ia persembahkan kepada Bali tempat ia lahir, tumbuh dan besar sebagai putra Bali. ''Bagaimanapun, saya seperti sekarang ini karena Bali, dan itu tak akan pernah saya lupakan,'' ungkapnya penuh haru.

Mario Blanco, Generasi Penerus Antonio Blanco yang Cinta Mati Bali

Mario Blanco, Generasi, Penerus, Antonio, Blanco, yang, Cinta, Mati, Bali
Ketenaran pelukis Don Antonio Blanco mungkin tak pernah hilang di Bali. Sebab, meski sudah meninggal 10 tahun lalu, ratusan karyanya tersimpan di museum. Selain itu, anak kedua Antonio, Mario Blanco, telah menjadi “fotokopi” sang ayah. Wajahnya mirip dan dia juga piawai melukis. Apakah sang anak sehebat papanya”
JIKA melihat penampilannya, Mario Blanco tak sama dengan papanya. Semasa hidup, pelukis Antonio Blanco suka mengenakan baret dan bajunya sering berbentuk jubah. Tapi, Mario lebih suka mengenakan pakaian adat Bali. “Meski jarang berpakaian seperti saya, Papa sangat mencintai Bali. Beliau meninggal di sini, dan menghadiahkan seluruh sejarah hidupnya untuk Bali,” kata Mario kepada Jawa Pos yang berkunjung ke rumahnya di kawasan Campuan, Ubud, Bali.
Sambil wawancara, Jawa Pos diajak Mario berjalan mengelilingi The Blanco Renaissance Museum di Campuan, Ubud, Bali. Di museum itulah, sedikitnya 300 lukisan karya Antonio disimpan. Mario menceritakan, dirinya sangat menyesal karena papanya tidak bisa menyaksikan bangunan museum itu selesai. “Papa hanya tahu sampai peletakan batu pertama (pembangunan museum). Beliau meninggal, dan tak sempat menyaksikan museumnya jadi,” cerita anak kedua dari empat bersaudara itu.
Antonio Blanco meninggal karena sakit jantung dan ginjal di usia 87 tahun pada 10 Desember 1999. Dia meninggalkan seorang istri dan empat anak. Mereka adalah: Tjempaka, Mario, Orchid, dan Mahadewi. Semuanya diberi embel-embel Blanco di belakang nama masing-masing.
Mario menceritakan, papanya memiliki ketertarikan sangat besar dan selalu membanggakan budaya Bali sejak tinggal di Pulau Dewata itu pada 1950-an. Dia lantas mengisahkan ketika papanya mengajak ibunya, Ni Ronji, pergi keliling Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa. “Waktu itu ibu dibohongi sama Papa, dibilangnya keliling Bali.
Karena itu, ibu pergi pakai baju adat seperti biasa,” cerita pria 47 tahun ini. Ketika ternyata diajak ke luar negeri, tentu saja Ni Ronji kaget. “Tapi, sudah telanjur. Akhirnya, meski berada di luar negeri, ibu tetap saja pakai pakaian adat Bali. Ternyata itu yang diinginkan Papa. Beliau sangat bangga dengan Bali, meski bukan orang asli Bali,” tuturnya.
Antonio memang bukan asli Bali. Dia berdarah campuran Spanyol dan Italia. Dia lahir di Filipina, tapi besar di Amerika Serikat. Dia cukup lama menjadi warga negara Amerika. Antonio menginjakkan kaki di Bali pada 1950-an, dan tinggal di Ubud. Pada 1953, dia menikahi Ni Ronji yang waktu itu berprofesi sebagai penari dan pernah menjadi model lukisan Antonio. Pasangan ini dikaruniai empat anak.
Rasa cinta Antonio terhadap Bali dan Indonesia juga terlihat ketika dia berwasiat ke Mario. “Sebelum meninggal, Papa berwasiat agar kami tidak memamerkan atau menitipkan lukisan-lukisan beliau di museum luar negeri,” katanya. “Papa ingin, kalau ada yang mencari lukisannya, harus datang ke Indonesia, yakni ke Bali. Tidak datang ke mana-mana,” lanjut pria kelahiran 4 Juli 1962 itu.
Dia menambahkan cerita lain, ketika D.H. Dhaimeler, penulis asal Perancis, menulis buku berjudul Fabulous Blanco. Saat itu Dhaimeler merayu Blanco agar buku tersebut dijual di toko buku berskala internasional. Tapi, saat itu Antonio menolak. Dia hanya ingin buku itu ada di museumnya. “Papa saya bilang, bapaknya Mario tidak akan kaya karena buku itu. Tapi ingin membuat sesuatu yang sangat bernilai tinggi. Jadi, buku itu hanya dijual di sini,” pesan Antonio saat itu, seperti ditirukan Mario.
Kini kecintaan Antonio terhadap Bali menular ke Mario. “Bali is my life, my house, my home,” kata Mario mantap. Kebetulan juga, dari empat anak Antonio, hanya Mario yang mewarisi bakat melukis. Itu pun disadari terlambat, setelah dia menjalani hobi dan profesi di bidang otomotif dengan mengikuti berbagai kejuaraan off road, slalom, atau rally. “Enam bulan setelah ayah saya meninggal, itu berat sekali. Saya melukis juga belum hebat banget,” pikir pria alumnus bidang Seni Rupa Universitas Udayana itu.
Sebelum Antonio meninggal, Mario sempat bertanya apakah boleh menjual lukisannya agar uangnya bisa digunakan untuk merawat museum. Ternyata tidak boleh. “Saya nggak diajari melukis, saya nggak boleh kerja, nggak boleh kuliah ke luar negeri. Lalu dari mana dapat uang untuk merawat museum dan lukisan?” tanya Mario saat itu kepada papanya. “Saat itu Papa hanya pandang mata saya, terus dia bilang, ‘Suatu saat nanti kamu akan bisa’,” kenang Mario.
Kalimat sang papa itulah yang menjadi motivasi Mario untuk belajar sendiri melukis. Lama-lama karya lukis Mario semakin mendapat apresiasi. Mario juga mulai diundang ke berbagai negara. Sebulan lalu, dia baru saja presentasi ke beberapa kampus di Ohio dan Chicago, sekalian memamerkan lukisannya. Pria yang saat kuliah semester tiga menjadi utusan Indonesia pada Youth Asian Painter di Singapura itu juga mulai menghidupkan peninggalan berharga Antonio, yaitu Museum Blanco.
Jika Antonio pada masa hidupnya sering mendapat tamu asing, termasuk salah satunya vokalis Rolling Stones, Mick Jagger, yang sampai berkunjung ke rumahnya pada akhir 1980-an, dan diajak bertemu Michael Jackson di Singapura pada 1993, Mario lain lagi.
Mario merasa lebih sering menerima tamu pejabat Indonesia, termasuk figur fublik dan artis. Pada Agustus 2007, Presiden SBY datang berkunjung bersama tujuh menterinya. “Sebelumnya, pada Juli (2007) itu saya menghadiahkan lukisan Kelapa. Saya diundang ke Cikeas,” ucapnya, bangga. Dari sisi prestasi Mario berharap bisa menyamai ayahnya.