Mario Blanco, Generasi Penerus Antonio Blanco yang Cinta Mati Bali

Mario Blanco, Generasi, Penerus, Antonio, Blanco, yang, Cinta, Mati, Bali
Ketenaran pelukis Don Antonio Blanco mungkin tak pernah hilang di Bali. Sebab, meski sudah meninggal 10 tahun lalu, ratusan karyanya tersimpan di museum. Selain itu, anak kedua Antonio, Mario Blanco, telah menjadi “fotokopi” sang ayah. Wajahnya mirip dan dia juga piawai melukis. Apakah sang anak sehebat papanya”
JIKA melihat penampilannya, Mario Blanco tak sama dengan papanya. Semasa hidup, pelukis Antonio Blanco suka mengenakan baret dan bajunya sering berbentuk jubah. Tapi, Mario lebih suka mengenakan pakaian adat Bali. “Meski jarang berpakaian seperti saya, Papa sangat mencintai Bali. Beliau meninggal di sini, dan menghadiahkan seluruh sejarah hidupnya untuk Bali,” kata Mario kepada Jawa Pos yang berkunjung ke rumahnya di kawasan Campuan, Ubud, Bali.
Sambil wawancara, Jawa Pos diajak Mario berjalan mengelilingi The Blanco Renaissance Museum di Campuan, Ubud, Bali. Di museum itulah, sedikitnya 300 lukisan karya Antonio disimpan. Mario menceritakan, dirinya sangat menyesal karena papanya tidak bisa menyaksikan bangunan museum itu selesai. “Papa hanya tahu sampai peletakan batu pertama (pembangunan museum). Beliau meninggal, dan tak sempat menyaksikan museumnya jadi,” cerita anak kedua dari empat bersaudara itu.
Antonio Blanco meninggal karena sakit jantung dan ginjal di usia 87 tahun pada 10 Desember 1999. Dia meninggalkan seorang istri dan empat anak. Mereka adalah: Tjempaka, Mario, Orchid, dan Mahadewi. Semuanya diberi embel-embel Blanco di belakang nama masing-masing.
Mario menceritakan, papanya memiliki ketertarikan sangat besar dan selalu membanggakan budaya Bali sejak tinggal di Pulau Dewata itu pada 1950-an. Dia lantas mengisahkan ketika papanya mengajak ibunya, Ni Ronji, pergi keliling Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa. “Waktu itu ibu dibohongi sama Papa, dibilangnya keliling Bali.
Karena itu, ibu pergi pakai baju adat seperti biasa,” cerita pria 47 tahun ini. Ketika ternyata diajak ke luar negeri, tentu saja Ni Ronji kaget. “Tapi, sudah telanjur. Akhirnya, meski berada di luar negeri, ibu tetap saja pakai pakaian adat Bali. Ternyata itu yang diinginkan Papa. Beliau sangat bangga dengan Bali, meski bukan orang asli Bali,” tuturnya.
Antonio memang bukan asli Bali. Dia berdarah campuran Spanyol dan Italia. Dia lahir di Filipina, tapi besar di Amerika Serikat. Dia cukup lama menjadi warga negara Amerika. Antonio menginjakkan kaki di Bali pada 1950-an, dan tinggal di Ubud. Pada 1953, dia menikahi Ni Ronji yang waktu itu berprofesi sebagai penari dan pernah menjadi model lukisan Antonio. Pasangan ini dikaruniai empat anak.
Rasa cinta Antonio terhadap Bali dan Indonesia juga terlihat ketika dia berwasiat ke Mario. “Sebelum meninggal, Papa berwasiat agar kami tidak memamerkan atau menitipkan lukisan-lukisan beliau di museum luar negeri,” katanya. “Papa ingin, kalau ada yang mencari lukisannya, harus datang ke Indonesia, yakni ke Bali. Tidak datang ke mana-mana,” lanjut pria kelahiran 4 Juli 1962 itu.
Dia menambahkan cerita lain, ketika D.H. Dhaimeler, penulis asal Perancis, menulis buku berjudul Fabulous Blanco. Saat itu Dhaimeler merayu Blanco agar buku tersebut dijual di toko buku berskala internasional. Tapi, saat itu Antonio menolak. Dia hanya ingin buku itu ada di museumnya. “Papa saya bilang, bapaknya Mario tidak akan kaya karena buku itu. Tapi ingin membuat sesuatu yang sangat bernilai tinggi. Jadi, buku itu hanya dijual di sini,” pesan Antonio saat itu, seperti ditirukan Mario.
Kini kecintaan Antonio terhadap Bali menular ke Mario. “Bali is my life, my house, my home,” kata Mario mantap. Kebetulan juga, dari empat anak Antonio, hanya Mario yang mewarisi bakat melukis. Itu pun disadari terlambat, setelah dia menjalani hobi dan profesi di bidang otomotif dengan mengikuti berbagai kejuaraan off road, slalom, atau rally. “Enam bulan setelah ayah saya meninggal, itu berat sekali. Saya melukis juga belum hebat banget,” pikir pria alumnus bidang Seni Rupa Universitas Udayana itu.
Sebelum Antonio meninggal, Mario sempat bertanya apakah boleh menjual lukisannya agar uangnya bisa digunakan untuk merawat museum. Ternyata tidak boleh. “Saya nggak diajari melukis, saya nggak boleh kerja, nggak boleh kuliah ke luar negeri. Lalu dari mana dapat uang untuk merawat museum dan lukisan?” tanya Mario saat itu kepada papanya. “Saat itu Papa hanya pandang mata saya, terus dia bilang, ‘Suatu saat nanti kamu akan bisa’,” kenang Mario.
Kalimat sang papa itulah yang menjadi motivasi Mario untuk belajar sendiri melukis. Lama-lama karya lukis Mario semakin mendapat apresiasi. Mario juga mulai diundang ke berbagai negara. Sebulan lalu, dia baru saja presentasi ke beberapa kampus di Ohio dan Chicago, sekalian memamerkan lukisannya. Pria yang saat kuliah semester tiga menjadi utusan Indonesia pada Youth Asian Painter di Singapura itu juga mulai menghidupkan peninggalan berharga Antonio, yaitu Museum Blanco.
Jika Antonio pada masa hidupnya sering mendapat tamu asing, termasuk salah satunya vokalis Rolling Stones, Mick Jagger, yang sampai berkunjung ke rumahnya pada akhir 1980-an, dan diajak bertemu Michael Jackson di Singapura pada 1993, Mario lain lagi.
Mario merasa lebih sering menerima tamu pejabat Indonesia, termasuk figur fublik dan artis. Pada Agustus 2007, Presiden SBY datang berkunjung bersama tujuh menterinya. “Sebelumnya, pada Juli (2007) itu saya menghadiahkan lukisan Kelapa. Saya diundang ke Cikeas,” ucapnya, bangga. Dari sisi prestasi Mario berharap bisa menyamai ayahnya. 

2 komentar:

www.cobamalu.blogspot.com mengatakan...

nice post....^_^
I like it...

Unknown mengatakan...

Tank's ya atas comennya.....
salam.